Wednesday 16 July 2014

PORE JAJI



Propaganda Stigmatisasi Jokowi Karena Didukung Oleh Banyak Media





Pengamat media Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Iswandi Syahputra, khawatir dengan pemberitaan di media massa terkait
masalah pemilihan presiden (pilpres). Pemberitaan dinilainya dapat
memicu perpecahan di Indonesia.



“Berita media yang bertubi-tubi menerpa masyarakat itu merupakan proses
stigmatisasi. Satu kubu bisa membenci kubu lain seperti orang yang
bermusuhan. Jika stigma kubu lawan adalah musuh sudah terbentuk, maka
tunggulah saatnya terjadi perang saudara,” ujarnya di Jakarta, Rabu
(16/7/2014).



Iswandi melanjutkan, sejak awal media telah mengalami polarisasi
berdasarkan dukungannya terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Dia
pun melihat saat ini hampir tidak ada media yang tidak berpihak.



“Hampir seluruh media sudah berpihak dalam pilpres ini. Mayoritas dari
media mainstream terlihat dengan jelas berpihak pada pasangan nomor dua.
Berkolaborasi dengan lembaga survei, tiap hari isi beritanya quick
count melulu. Ini pasti ada tujuannya,” jelasnya.



Dia menilai keberpihakan media tersebut justru akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Salah satunya dalam masalah quick count.



“Media itu diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Bagaimana media
dapat ciptakan iklim demokratis jika dalam pilpres sudah tidak netral
dan berpihak. Demikian juga dengan quick count,

bagaimana mau quick count mau benar kalau dibayar pasangan tertentu. Ini anomali demokrasi”, jelasnya.



Bahkan saat ini, media massa seperti pihak yang ikut bersaing dalam
pilpres. Sesama media saling menjatuhkan. Padahal media memiliki
kekuatan membentuk opini publik. Di tingkat bawah, berita media bisa
dipegang sebagai nilai baik dan buruk oleh masyarakat.



“Masyarakat jadi bisa terpicu konflik jika media ikut-ikutan mendukung
pasangan tertentu. Media membuka jalan bagi terciptanya perang saudara,”
ucap mantan komisioner KPI itu.



Untuk itu Iswandi menghimbau, dalam kondisi politik sudah panas saat
ini, sebaiknya media menjalankan fungsi jurnalisme damai. “Jangan
memanasi situasi, tapi beri solusi. Buatlah berita dengan pertimbangan
‘jika’ ‘maka’. Jika saya beritakan ini maka dampaknya seperti ini,”
katanya



Ia mengingatkan, negara Yugoslavia tutup usia pada umur 88 tahun
demikian juga Uni Soviet yang besar dan kokoh bubar pada umur 74 tahun
karena konflik. “Mengerikan sekali jika Indonesia bubar menjelang usia
69 tahun akibat perang saudara dan itu terjadi karena media ikut
memanasi situasi,” tandasnya.

No comments:

Post a Comment